Sebagai simbol penghormatan dan kesadaran spiritual, Canang sari mengandung makna yang mendalam bagi masyarakat Bali, mencerminkan hubungan yang harmonis antara manusia, alam semesta, dan Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa. Mari kita telusuri lebih lanjut tentang keindahan dan kekayaan filosofis di balik Canang sari, sebuah persembahan yang sederhana namun sarat dengan makna yang mendalam dalam tradisi keagamaan Bali.
"Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha
Om shri Deva Devi Sukla ya namah svaha."
Sejarah dan Asal-Usul Canang Sari
Canang Sari merujuk pada warisan kaya sejarah dan kepercayaan dalam tradisi Hindu Bali. Menurut legenda, Canang Sari diciptakan oleh seorang sulinggih yang dihormati, Mpu Sangkulputih, yang menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih. Dalam praktik persembahyangan Hindu Bali, Canang Sari dianggap sebagai persembahan terkecil (kanista) namun paling penting (inti). Istilah "terkecil namun inti" untuk Canang Sari mencerminkan latar belakang filosofis dan budaya yang mendalam, merujuk pada keyakinan bahwa setiap banten atau yadnya selalu menyertakan Canang Sari.
Makna asli Canang berasal dari tradisi Jawa kuno, di mana kata tersebut merujuk pada sirih, sebuah bahan yang disuguhkan kepada tamu terhormat. Dalam budaya Jawa kuno, sirih memiliki nilai tinggi sebagai simbol keramahan dan penghormatan terhadap tamu yang dianggap penting. Penggunaan istilah "Canang" dalam konteks persembahan ritual di Bali mencerminkan kedalaman spiritual dan penghargaan terhadap nilai-nilai tradisional yang kaya akan adat istiadat.
Pentingnya sirih dalam budaya Jawa kuno diadopsi dalam ajaran agama Hindu setelah berkembang di Bali. Sirih menjadi unsur tak terpisahkan dalam upacara keagamaan dan kegiatan lain di Bali. Setiap Canang disebut "Canang Sari" karena inti atau esensinya adalah sirih itu sendiri. Dalam tradisi Bali, sebuah Canang dianggap belum lengkap secara makna dan spiritual jika tidak dilengkapi dengan porosan, yang bahan pokoknya utamanya adalah sirih.
Makna dan Filosofis Canang Sari
Canang Sari memiliki makna yang mendalam dalam ajaran agama Hindu Bali. Kata "Canang" sendiri berasal dari gabungan kata "Can" yang berarti indah, dan "Nang" yang berarti tujuan atau maksud dalam bahasa Kawi atau Jawa Kuno. Sedangkan "Sari" merujuk pada inti atau sumber. Dengan demikian, Canang Sari secara harfiah bermakna sebagai persembahan yang indah dengan tujuan atau maksud yang mendalam.
Makna Canang Sari juga terkait erat dengan ajaran Weda dalam agama Hindu, yang menyiratkan makna sebagai simbol untuk memohon kehadiran dan keberkahan dari Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu aspek penting dalam persembahan Canang Sari adalah memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) baik untuk Bhuwana Alit (alam mikro) maupun Bhuwana Agung (alam makro). Dengan demikian, Canang Sari menjadi sarana spiritual bagi umat Hindu Bali untuk menghadap kepada Sang Pencipta dan memohon keselamatan serta keberkahan dalam kehidupan mereka.
Melalui Canang Sari, umat Hindu Bali mengungkapkan rasa hormat, pengabdian, dan kesadaran akan keterhubungan antara manusia dengan alam semesta dan Sang Pencipta. Canang Sari bukan hanya merupakan persembahan atau ritual keagamaan semata, tetapi juga merupakan simbol yang sarat dengan makna filosofis dan spiritual dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali. Melalui keindahan dan kesederhanaannya, Canang Sari mengajarkan tentang hubungan yang harmonis antara manusia, alam, dan Sang Hyang Widhi, serta pentingnya pengetahuan dan kesadaran spiritual dalam menjalani kehidupan.
Isi dan Simbolisme Dalam Canang Sari
Canang Sari, selain sebagai persembahan ritual, juga sarat dengan simbolisme yang dalam dalam ajaran agama Hindu Bali. Setiap elemen yang digunakan dalam penyusunan Canang Sari memiliki makna filosofis yang mendalam, menggambarkan hubungan antara manusia dengan alam semesta dan Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.
Bagian-bagian Canang Sari |
Simbolisme dalam Bagian-Bagian Canang Sari:
- Ceper: Melambangkan angga-sarira (badan) dengan keempat sisinya mewakili pembentuk angga-sarira, seperti Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, dan Panca Karmendriya. Canang yang dialasi ceper merupakan simbol Ardha Candra, sementara yang dialasi oleh tamas kecil melambangkan Windhu.
- Beras atau Wija: Melambangkan Sang Hyang Ātma atau pemberi kehidupan, merepresentasikan benih di awal kehidupan yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Ātma.
- Porosan: Terbuat dari daun sirih, kapur, dan jambe (gambir), melambangkan Tri-Premana (Bayu, Sabda, Idep) yang memungkinkan tubuh bernyawa melakukan aktivitas. Juga melambangkan Trimurti (Siwa, Wisnu, Brahma), serta mengajarkan pentingnya hati yang penuh cinta, welas asih, dan rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
- Jajan, Tebu, dan Pisang: Simbol dari Tedong Ongkara, mencerminkan kekuatan dalam kehidupan di alam semesta.
- Sampian Uras atau Duras: Dibuat dari rangkaian janur yang melambangkan roda kehidupan dengan astaa iswaryanya (delapan karakteristik), merepresentasikan setiap kehidupan umat manusia.
- Bunga: Disusun dengan urutan tertentu melambangkan kekuatan Sang Hyang Iswara (Putih di Timur), Sang Hyang Brahma (Merah di Selatan), Sang Hyang Mahadewa (Kuning di Barat), dan Sang Hyang Wisnu (Biru/Hijau di Utara), dengan Kembang Rampai di tengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata.
- Kembang Rampai: Mewakili kebijaksanaan dan kekuatan Sang Hyang Panca Dewata, serta menggambarkan kehidupan manusia yang tidak selalu senang atau susah.
- Lepa atau Boreh Miyik: Lambang sikap dan perilaku yang baik, menentukan penilaian masyarakat terhadap seseorang.
- Minyak Wangi atau Miyik-Miyikan: Melambangkan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik dalam menata kehidupan.
Seluruh elemen dalam Canang Sari, mulai dari bunga, kembang rampe, porosan, hingga canang, menggambarkan Tarung/Tedung dari Ong Kara, yang merupakan isi dari Tri Bhuwana (Tri Loka), yaitu Bhur-Bwah-Swah.
Mantra Menghaturkan Canang Sari
"Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha
Om shri Deva Devi Sukla ya namah svaha."
Bentuk dan Jenis-jenis Canang Sari
Canang Sari hadir dalam berbagai bentuk yang menggambarkan keberagaman praktik keagamaan dan kebudayaan di Bali. Berdasarkan penggunaan, bentuk, dan perlengkapannya, Canang Sari dapat dibedakan menjadi beberapa macam yang memiliki makna dan fungsi yang berbeda yaitu:
1. Canang Sari
Canang Sari adalah bentuk canang yang menggunakan alas ceper, dengan sampian urasari membentuk astadala, sehingga berbentuk bundar yang berfungsi sebagai sarining yadnya. Terdapat dua jenis Canang Sari, yaitu Canang Sari Ageng dengan sampian urasari berbentuk astadala, dan Canang Sari Alit yang sampian urasarinya menunjuk empat arah mata angin, namun maknanya tetap sama.
2. Canang Genten
Canang Genten memiliki fungsi dasar yang sama dengan Canang Sari, namun ditambahkan dengan jajan kiping, pisang mas, dan bubur sesuruh merah dan putih. Bubur tersebut dibungkus dengan janur yang digiling menyerupai sebatang rokok dan diletakkan di bawah Sampian Urasari. Canang ini sering digunakan pada upacara matatah atau menek kelih (beranjak dewasa), sebagai simbol permohonan anugerah keremajaan.
3. Canang Pesucian
Canang Pesucian dialasi dengan sebuah taledan kecil yang berbentuk segi empat panjang dan memiliki satu sibeh pada bagian pangkalnya. Isinya melambangkan kekuatan Sang Hyang Iswara, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Mahadewa, Sang Hyang Wisnu, dan Sang Hyang Siwa.
4. Canang Gantal
Canang Gantal, secara prinsip hampir sama dengan Canang Pesucian, namun kata 'Gantal' berasal dari kata 'Gana' yang mengandung arti pertemuan, dan 'Tal' yang berarti bersatu. Canang Gantal memiliki makna permohonan kedamaian kepada Tuhan.
5. Canang Pangrawos
Canang Pangrawos memiliki prinsip yang serupa dengan Canang Gantal, namun di tengahnya menggunakan sebuah takir berisi lima buah lekesan. Tujuannya adalah untuk memohon kebulatan pendapat berdasarkan ketenangan hati untuk mencapai kedamaian. Canang ini umumnya digunakan dalam rapat atau pengajuman.
6. Canang Tubungan
Canang Tubungan memiliki prinsip yang sama dengan Canang Pangerawos, namun perbedaannya terletak pada lekesan (isi). Canang ini merupakan penghormatan kepada Ida Sang Hyang Widhi agar dianugerahkan kekuatan. Biasanya digunakan dalam upacara nuntun atau mamendak.
7. Canang Raka
Canang Raka, pada dasarnya, serupa dengan Canang Sari. Namun, pada Canang Raka terdapat lima jenis buah yang melambangkan permohonan pengeleburan panca mala. Selain itu, tujuannya juga untuk memohon anugerah Panca Amertha, yaitu Amertha Sanjiwani (disimbolkan dengan pisang kayu), Amertha Kamandalu (disimbolkan dengan buah salak), Amertha Kundalini (disimbolkan dengan buah kuning), Amertha Pawitra (disimbolkan dengan buah manggis), dan Amertha Maha Mertha (disimbolkan dengan buah jeruk). Canang ini sering digunakan dalam upacara Panca Yadnya, terutama saat mendem pedagingan dan nyejer.
8. Canang Tadah Sukla
Canang Tadah Sukla, pada dasarnya, sama dengan pembuatan Canang Payasan, hanya isi celemiknya yang berbeda. Canang ini melambangkan kekuatan iman, kesucian, dan kesejahteraan, biasanya digunakan dalam upacara pebersihan.
9. Canang Pangengkeb
Canang Pangengkeb memiliki prinsip yang sama dengan Canang Payasan, namun di tengahnya terdapat dua buah takir dengan posisi tempat kanan dan kiri. Takir di sebelah kanan berisi beras kuning dengan satu buah base tubungan, sedangkan takir di sebelah kiri berisi cendana. Canang ini bertujuan untuk memohon kekuatan kewibawaan atau taksu dalam kesenian, dan sering digunakan saat pementasan tarian sakral.
10. Canang Saraswati
Canang Saraswati menggunakan ceper sebagai alasnya, dengan isi berupa jajan, pisang, tebu, porosan, dan sampian plaus yang diletakkan pada bagian hulunya. Canang ini digunakan untuk memohon anugerah kepintaran, khususnya dalam perayaan Hari Suci Saraswati.
Setiap jenis Canang Sari memiliki makna dan simbolisme tersendiri, mencerminkan keberagaman budaya dan spiritualitas dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali. Melalui berbagai bentuk ini, masyarakat Bali mengungkapkan rasa syukur, penghormatan, dan kesadaran akan keterhubungan antara manusia, alam semesta, dan Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.
Penutup
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu Bali, Canang sari bukan sekadar persembahan ritual, tetapi juga sebuah pengingat akan kehadiran spiritual yang melingkupi setiap aspek kehidupan. Melalui keindahan dan kesederhanaannya, Canang sari mengajarkan tentang kesadaran akan keterhubungan antara manusia, alam semesta, dan Sang Hyang Widhi. Sebagai bagian dari warisan spiritual yang kaya, Canang sari mengajarkan nilai-nilai penghormatan, kesadaran, dan pengabdian kepada sesama.
Dalam persembahannya yang sederhana namun mendalam, Canang sari membangun jembatan antara manusia dan Sang Pencipta, membawa harmoni dan keberkahan bagi mereka yang merayakannya. Mari kita terus menghormati dan merawat tradisi spiritual Canang sari, sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas dan kekayaan budaya masyarakat Hindu Bali. Dengan demikian, kita dapat menjaga warisan spiritual ini tetap hidup dan bersemi dalam kehidupan kita sehari-hari, memperkuat ikatan kita dengan alam semesta dan Sang Hyang Widhi, serta mewariskannya dengan bangga kepada generasi mendatang.
Posting Komentar