Setiap tanggal 14 Februari, masyarakat di seluruh dunia merayakan Hari Valentine atau Hari Kasih Sayang. Namun, di Pulau Dewata Bali, masyarakatnya juga memiliki perayaan unik untuk mengekspresikan kasih sayang atau Tumpek Krulut. Perayaan ini tak hanya tentang cinta, tetapi juga tentang spiritualitas dan tradisi Bali yang kaya. Tumpek Krulut memperlihatkan makna yang dalam dan kekhasan budaya Bali.
Sebagai bagian dari upacara keagamaan Hindu, Tumpek Krulut menghormati Dewa Iswara dan memperkuat hubungan spiritual manusia dengan alam semesta. Mari kita jelajahi lebih lanjut tentang perayaan yang diisi dengan kesucian, keindahan seni, dan nilai-nilai kehidupan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mari kita telusuri bersama makna dan tradisi Tumpek Krulut yang menghiasi kehidupan masyarakat Bali.
Pengertian Tumpek Krulut
Tumpek Krulut adalah perayaan keempat dari enam perayaan dalam siklus kalender Bali yang dianggap sebagai hari suci untuk memuliakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujudnya sebagai Dewa Iswara atau Kawiswara. "Tumpek" berasal dari kata "Tu" yang berarti "metu" atau awal, dan "Pek" yang berarti "berakhir". Sedangkan "Krulut" berasal dari kata "Lulut" yang memiliki makna tresna asih atau cinta kasih, kebahagiaan, dan kegembiraan.
Hari Tumpek Krulut jatuh pada Saniscara Kliwon Wuku Krulut, datang setiap 210 hari atau 6 bulan sekali. Umat Hindu merayakannya sebagai bentuk penghormatan dan perayaan atas kasih sayang serta kehadiran Dewa Iswara dalam kehidupan mereka. Seperti suara tetabuhan gamelan yang merdu dan mampu membawa kegembiraan bagi pendengarnya, Tumpek Krulut juga dimaknai sebagai hari untuk menumbuhkan rasa cinta kasih terhadap sesama manusia.
Pada Tumpek Krulut, umat Hindu melaksanakan berbagai upacara penyucian (otonan) Sarwa Tetangguran (gamelan/alat musik), serta pagelaran tarian seperti Legong Kuntul, tari Barong Landung, dan lainnya. Ini adalah momen yang diisi dengan kesucian, keindahan seni, dan penghormatan terhadap keberadaan Dewa Iswara serta nilai-nilai kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari.
Makna dan Filosofis Tumpek Krulut
Tumpek Krulut, juga dikenal sebagai Tumpek Lulut, mengandung makna yang mendalam dalam budaya Bali. Kata "lulut" dalam bahasa Bali menggambarkan jalinan atau rangkaian, yang merujuk pada hubungan yang erat antara manusia dan spiritualitas. Dalam pandangan masyarakat Bali, "taksu" adalah kekuatan spiritual yang mengalir dalam berbagai kegiatan seni yang dilakukan oleh mereka.
Tumpek Krulut dipercaya membawa turunnya taksu yang dapat membawa kebahagiaan dan memperkuat rasa kasih sayang di antara sesama. Perayaan ini sering diibaratkan sebagai versi Hari Valentine bagi umat Hindu di Bali, karena tidak hanya melambangkan kasih sayang, tetapi juga diidentikkan dengan kehadiran taksu dalam gamelan. Mendengarkan alunan gamelan diyakini dapat membawa kegembiraan dan kesenangan bagi pendengarnya.
Sebagaimana dalam kehidupan adat dan budaya di Bali dikenal adanya gamelan sebagai sarana yang menampilkan tabuh atau suara-suara suci, maka Tumpek Krulut pun identik dengan sebutan odalan gong. Dari sini diambil makna agar perangkat suara untuk kelengkapan upacara tersebut memiliki taksu dan suara yang indah.
Perayaan ini mengandung nilai keindahan dalam aspek teologis, memperkuat hubungan spiritual antara manusia dan alam semesta. Tumpek Krulut juga menyoroti aspek Ketuhanan melalui seni, terutama dalam gamelan. Setiap alat gamelan mengandung simbol-simbol yang mewakili para dewa dan dewi dalam kepercayaan Hindu Bali. Dengan demikian, seni gamelan menjadi sarana untuk menghormati dan menghubungkan diri dengan aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari.
Mitologi Semara Ratih Sebagai Hari Kasih Sayang
Dalam mitologi Bali, Tumpek Krulut juga dipengaruhi oleh cerita tentang Sang Hyang Semara Ratih, yakni Dewa Kama dan Dewi Ratih, pasangan suami istri yang saling mencintai dengan tulus. Cerita ini mengisahkan tentang sebuah surga yang aman dan damai yang dikejutkan oleh serangan dari raksasa sakti bernama Nilarudraka.
Para dewa yang berada di surga tersebut berjuang mati-matian untuk melawan Nilarudraka, namun tidak ada yang berhasil mengalahkannya. Mereka kemudian meminta bantuan Bhagawan Wraspati, yang menjawab bahwa satu-satunya yang bisa mengalahkan Nilarudraka adalah Dewa Siwa, namun saat itu Dewa Siwa masih bertapa.
Dewa Kama kemudian diminta untuk mengganggu Dewa Siwa yang sedang bertapa di Gunung Kaliasa. Meskipun menyadari bahayanya, Dewa Kama nekat melakukannya dan memanah Dewa Siwa. Akibatnya, Dewa Siwa marah dan membakar Dewa Kama hingga hangus. Melihat suaminya tewas, Dewi Ratih memohon untuk juga dibakar, dan dengan mudahnya ia pun hangus.
Namun, ada yang aneh terjadi. Setelah dipanah, Dewa Siwa merasa kangen pada istrinya, Dewi Uma. Terlanjur merindukan Dewi Uma, Dewa Siwa menemui dan akhirnya keduanya berjalan-jalan di puncak Gunung Kaliasa. Di sana, mereka menemukan abu Dewa Kama dan Dewi Ratih, dan Dewa Siwa menjelaskan kronologi kejadian tersebut.
Meskipun begitu, Akhirnya, abu Dewa Kama dan Dewi Ratih ditabur di dunia mayapada agar setiap insan di dunia dapat merasakan perasaan cinta dan rindu, berkat Sang Hyang Semara Ratih. Dewa Siwa berjanji bahwa Dewa Kama dan Dewi Ratih akan 'hidup' selamanya di hati setiap insan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, yang telah sadar akan swadharmanya.
Ditetapkannya Tumpek Ktulut Sebagai Hari Kasih Sayang Versi Bali
Sang Hyang Semara Ratih |
Upacara Ritual pada Tumpek Krulut
Pada perayaan Tumpek Krulut, masyarakat Hindu Bali menyelenggarakan upacara Dewa Yadnya dengan memberikan persembahan kepada Dewa Iswara, yang diyakini hadir dalam bentuk manifestasi gamelan. Ritual dimulai dengan penyiraman air suci atau tirta ke set gamelan (Sarwa Tetangguran) yang akan disucikan, bertujuan untuk membersihkan segala hal negatif yang melekat pada gamelan tersebut.
Setelah itu, masyarakat Bali menyajikan sesajen sebagai simbol persembahan kepada Dewa Iswara. Sesajen tersebut terdiri dari berbagai jenis seperti peras, pengambean, ajuman, tigasan, dan ketupat gong. Semua banten atau sesajen yang dipersembahkan haruslah utuh, termasuk telur, buah-buahan, dan lainnya.
Sebelum pelaksanaan upacara, juga dilakukan upacara mabyekala atau beakaon sebagai bagian dari ritual penyucian untuk menghilangkan segala mala. Tumpek Krulut juga dipercaya sebagai hari untuk melakukan ritual penyembuhan bagi anak-anak yang mengalami kesulitan berbicara. Momen ini dianggap sebagai waktu yang tepat untuk memohon kesembuhan dan berkah bagi mereka yang membutuhkannya.
Penutup
Dengan demikian, Tumpek Krulut adalah sebuah perayaan yang kaya akan makna dan filosofi dalam budaya Bali. Melalui upacara-upacara yang dilaksanakan dan simbolisme yang terkandung di dalamnya, perayaan ini tidak hanya memperkuat hubungan antara manusia dengan alam semesta dan spiritualitas, tetapi juga menggambarkan keindahan dan kekayaan warisan budaya Hindu Bali.
Diharapkan, melalui pemahaman yang lebih dalam tentang Tumpek Krulut, kita dapat menghargai dan meresapi nilai-nilai kehidupan serta kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Sebagai warisan budaya yang berharga, Tumpek Krulut mengajarkan tentang pentingnya kasih sayang, kebersihan spiritual, dan penghormatan terhadap ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari.
Posting Komentar