Dalam tradisi Hindu di seluruh dunia, hampir tidak ada sebuah predikat bidah dan sesat yang menempel dalam setiap bentuk praktek ritual umatnya. Ini merupakan sebuah bentuk citra kebijaksanaan manusia Hindu yang memuja Tuhan dalam berbagai macam dimensi. Kemudian ini juga yang membedakan agama Hindu dengan agama lainnya, termasuk juga Hindu di Bali. Praktek banten Hindu di Bali, sedikit istimewa, mengingat ada banyak rupa, ragam dan bentuk sesajian yang dipersembahkan, dan ini memiliki satu korelasi yang utuh, bahwa persembahan merupakan salah satu cara untuk memuaskan Tuhan.
Dengan cermat dan penuh kesungguhan, umat Hindu Bali menyusun setiap elemen persembahan dengan harapan untuk mendapatkan berkah dan keberkahan dalam kehidupan mereka. Kali ini kita akan menjelajahi lebih dalam mengenai Banten Upakara dalam tradisi Hindu Bali, mengungkapkan makna, tujuan, dan praktiknya yang khas. Dengan memahami esensi dari persembahan ini, kita dapat meresapi kekayaan spiritual dan budaya yang terkandung di dalamnya, serta menghargai warisan keagamaan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Pengertian Banten atau Upakara
Bebanten atau upakara adalah pengejawantahan dari sang diri pribadi, serta penunggalan dari Bayu, Sabda, dan Idep yang didasari dengan pikiran yang suci nirmala serta keikhlasan yang tinggi kepada Tuhan, yang merupakan utamaning bebanten atau upakara.
Keutamaan suatu bebanten atau upakara bukanlah diukur dari besarnya suatu persembahan, melainkan sejauh mana kita dapat menyatukan Bayu, Sabda, dan Idep (Kekuatan, perkataan, serta pikiran), yang dilahdasi oleh kesucian pikiran serta ketulusan kita yang tanpa pamrih dalam beryadnya.
Untuk dapat mewujudkan banten yang suci, kita tidak bisa terlepas dari unsur positif dan negatif yang mana disebut Rwa Bhineda, juga Purusa Predhana. Karena dari kedua unsur tersebutlah terciptanya Prakerti (kehidupan) terciptanya Tri Bhuwana dengan segala isinya.
Asal-usul Banten atau Upakara
Keberadaan upakara atau banten tercipta dari keberadaan Sang Hyang Adikusuma (Sang Hyang Tunggal). Kemudian dari Beliau terciptalah Sang Hyang Purusa Predana. Dari Sang Hyang Purusa Predana terciptalah Sang Hyang Tiga Adnyana Wisesa: Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa. Brahma, Wisnu, Iswara. Selanjutnya tercipta dari beliau berupa langit, bumi, hawang-huwung. Manganak (Lahir dari unsur yang dilahirkan), Maletik (dari unsur tumbuh-tumbuhan), Mantiga (yang terlahirkan dari unsur telur), Bayu, Sabda, Idep.
Dari Sang Hyang Tri Bhuwana terciptalah aksara Swalalita, aksara Modre, aksara Wrehastra, yang selanjutnya melahirkan aksara Sang Hyang Weda, Sang Hyang Wariga, Sang Hyang Usadha. Beliaulah yang menciptakan ketiga bumi ini dengan segala isinya, sebagai permulaan terjadinya bebanten atau upakara.
Pemahaman akan asal-usul ini memberikan landasan filosofis yang dalam bagi praktik Banten Upakara, menjelaskan bahwa persembahan ini bukanlah sekadar tindakan ritualistik, tetapi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesatuan kosmis yang mencakup Tuhan, alam semesta, dan manusia.
Sejarah Pelaksanaan Banten Upakara di Pulau Bali
Dikisahkan ketika Ida Maharesi Markandeya datang ke tanah Nusantara dari India dengan membawa paham dan tata cara dari India, beliau membuat sebuah pasraman di Gunung Raung. Kemudian dari sana beliau mendapatkan sebuah pawisik bahwa ada sebuah wilayah keramat dan suci di sebrang timur tanah jawah, sebuah Gunung yang maha tinggi menjulang dengan perkasa di atas awan, puncaknya bersinar bagaikan matahari di balik meru yang disebut Toh Langkir sekarang disebut sebagai Gunung Agung.
Karena mendapatkan sesuatu gaib, maka beliau yang diiringi oleh 800 orang prajurit, kemudian memasuki wilayah Toh Langkir dan mulai merabas hutan hendak membuka sebuah desa dan menyebarkan agama Hindu. Namun entah dari mana datangnya musibah, pengiring beliau satu per satu terserang bencana, dan ekspedisi ini gagal. Kembalilah beliau ke Gunung Raung. Hal itu terulang sampai ke dua kalinya. Sampai beliau melakukan tapa dan meminta petunjuk Hyang Sinuhun, bahwa di tanah itu (baca: Toh langkir), jika ingin selamat maka harus melakukan sebuah ritual.
Dari kisah ini, kita dapat melihat bahwa sejarah pelaksanaan Banten Upakara di Pulau Bali tidak hanya merupakan warisan budaya, tetapi juga dipercayai sebagai bagian dari perlindungan dan keselamatan spiritual bagi penduduk setempat. Ritual ini menjadi simbol keberanian, ketabahan, dan pengabdian kepada Tuhan yang terus dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali dalam menjaga dan memperkuat ikatan spiritual mereka.
Lalu dengan siddhi beliau, dan petunjuk gaib, maka Maharesi Markandeya menanam Panca datu, sebagai sebuah ritual sakral memohon anugerah atas apa yang akan di kerjakan di tanah ini. Sehingga tanah itu . kemudian diberinama Basukihan, yang artinya selamat. Kata Bali sendiri dalam bahasa Sanskerta adalah "Kuat Perkasa". Maka pulau Bali adalah pulau perkasa.
Seorang Maharesi sehebat Maharesi Markandeya saja harus melakukan upacara ala Bali, mendem pedagingan, agar selamat. Yaitu, Caru, pekelem, resi gana dan sebagainya adalah sebuah upacara penyucian tingkat astral. Jika di analogikan, maka kotoran dunia nyata (sekala) dapat dibersihkan dengan menyapu. Sedangkan untuk duma niskala, maka perlu Caru, perlu Tawur dan sebagainya. Itulah sebabnya di pulau Bali umat hindu selalu rutin melaksanakan yadnya dengan banten atau upakara.
Dasar Pembuatan Sebuah Banten
Dasar yadnya yang terdapat dalam kitab Bhagawadgita, bahwa persembahan pada intinya adalah buah, air, bunga, dan daun. Untuk air sudah banyak dikenal dikalangan umat Hindu, yang perlu mendapatkan banyak perhatian adalah tentang buah, daun dan juga bunga sebagai dasar dari setiap persembahan dalam bentuk banten di tanah Bali.
Secara umum, maka dasar pembuatan sebuah banten persembahan, akan menggunakan beberapa bahan sebagai berikut ini:
- Plawa atau daun: adalah sebuah persembahan yang menjadi fundamental dalam setiap banten, dan ini melambangkan sebuah kesucian hati.
- Sirih: sebuah persembahan yang melambangkan Sang Hyang Wisnu atau Sang Hyang Narayana
- Kapur atau pamor: adalah melambangkan Ida Bhatara Hyang Siwa. Dalam beberapa konteks, Bhatara Siwa memiliki nama suci Hyang Iswara dan dalam pengider bhuana, maka beliau memiliki warna putih.
- Buah Pinang: karena berwarna kemerahmerahan, maka ini mewakili Sang Hyang Brahma.
- Porosan: merupakan gabungan dari Sang Hyang Tri Murti, dan itu berarti porosan merupakan lambang Sang Hyang Widhi Wasa.
- Bunga: adalah fisualisasi keindahan dan ketulusan cinta bhakti manusia.
- Beras: merupakan persembahan yang mewakili unsur pokok dalam kehidupan manusia.
- Kembang Rampe: adalah sebuah perlambang aroma terapi bagi umat Hindu agar dapat dengan mudah memusatkan pikirannya memuja Tuhan.
- Kelapa: mewakili dunia tempat kita berada, dan diyakini bahwa kepala Sang Hyang Brahma dahulu kala pernah menjelma menjadi tumbuhan kelapa di Bumi, sehingga kelapa juga berfungsi sebagai tapakan Ida Bhatara di saat odalan.
- Telur Itik: merupakan lambang jiwa yang suci, sebab itik merupakan sebuah lambang dimana mahluk yang cerdas dapat membedakan mana baik dan buruk, sebab itik sendiri mencari makanan dengan menvaringnya, jadi itik tidak memakan Lumpur, tapi sari makanan yang ada di dalam Lumpur.
- Tingkih: merupakan sebuah perwakilan kesucian dan keharmonisan.
- Pangi: adalah sebuah persembahan yang melambangkan Ida Bhatara Sang Hyang Mahesora.
- Pisang: merupakan sebuah persembahan dalam bentuk buah, dan ini juga merupakan persembahan pokok dalam yajna di Bali.
- Gagantusan: ini merupakan sebuah perpaduan atau gabungan antara berkah yang ada di daratan dan lautan. Inilah yang menjadi persembahan kita kepada Hyang Widdhi.
- Bija ratus: merupakan kolaborasi banyak bjji-bijian dan inilah yang melambangkan Panca Dewata.
Hal ini adalah sebuah Nyasa, atau pralambang. Sebab dalam konteks banten di Bali, selain sebagai sebuah persembahan, banten juga merupakan panganggan Sang Hyang Widdhi. Artinya ini tentang sebuah gambaran mengenai Bhuana Agung dan Bhuana Alit yang semuanya disersapi oleh Tuhan. Namun banten juga bisa memiliki arti sebuah persembahan, biasanya tetap terdapat unsur di atas, namun buah dan bunga yang dipergunakan haruslah segar dan bersih.
Tiga Bagian Struktur Banten atau Upakara
- Banten Bayekaon
- Banten Tetebasan Durmanggala
- Tetebasan Prayascita
- Lis Bale Gading
- Banten Padudusan
2. Kelompok banten atau upakara sebagai wujud pralingga (sthana):
- Daksina
- Banten Sesayut
3. Kelompok banten atau upakara sebagai persembahan (suguhan):
- Hayunan
- Banten Pajegan
- Sodaan
- Dan sebagainya
Banten atau upakara yang terkecil sebagai unsur dasar dari suatu yadnya, yaitu Banten Ayaban Tumpeng Lima yang terdiri dari:
- Banten Pengambian
- Banten Peras
- Banten Dapetan
- Banten Gebogan
- Banten Sesayut
Penutup
Fungsi serta bentuk upakara atau banten yang terdapat di Bali, sebagian besar merupakan sebuah perpaduan antara unsur estetik dan etik serta filosofi manusia Bali yang dikemas untuk memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Namun meskipun demikian, ada juga persembahan yang merupakan sebuah fundamen terperinci dari alam Bali yang penuh dengan kekuatan magis dan niskala.
Dalam keberagaman persembahan dan upakara tersebut, tergambarlah kekayaan spiritual dan budaya yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Bali. Setiap tindakan persembahan adalah ekspresi dari rasa syukur, pengabdian, dan harapan akan keberkahan dan perlindungan dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Semoga kita dapat lebih memahami dan menghargai nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Banten Upakara di Bali, serta keberagaman budaya yang memperkaya warisan spiritual manusia. Sebagai bagian dari warisan budaya yang berharga, persembahan ini terus dilestarikan dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan ikatan dengan alam semesta. identitas dan keberlangsungan budaya mereka.
Refrensi:
- Ida Panditha Mpu Jaya Wijaya. (2003). Tetandingan lan Sorohan Banten
- Gede Agus Budi Adnyan. (2011). Banten Tradisi Bali
Posting Komentar