Pelangkiran telah lama menjadi pilihan utama bagi umat Hindu Bali untuk menyembah Ida Sang Hyang Widhi dalam berbagai manifestasinya. Bentuknya yang praktis, mudah dibuat, didapat, atau ditempatkan, dan memiliki fleksibilitas fungsi dalam kesederhanaan bentuknya, menjadikan pelangkiran sebagai fokus orientasi religius bagi umat Hindu dalam menjalankan swadharma atau tugas-tugas kehidupan mereka.
Sebagai simbol kehadiran spiritual yang mengisi setiap sudut rumah dan kegiatan sehari-hari, pelangkiran memperkuat ikatan batin antara umat Hindu dengan alam semesta dan sang pencipta, mencerminkan kekayaan spiritual dan filosofi yang melekat dalam kehidupan masyarakat Bali. Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi lebih dalam tentang peran, makna, dan praktik seputar pelangkiran dalam konteks kehidupan keagamaan Hindu Bali.
Pengertian Pelangkirang
Pelangkiran adalah salah satu sarana doa yang memiliki signifikansi penting bagi umat Hindu. Selain Merajan atau Sanggah Kemulan, pelangkiran merupakan bagian integral dari praktik keagamaan sehari-hari. Pelangkiran umumnya ditempatkan di berbagai ruangan seperti kamar tidur, tempat usaha, dan lokasi lainnya. Setiap penempatan pelangkiran dalam kamar tidur memiliki dasar dan tujuan tertentu yang didasarkan pada prinsip-prinsip spiritual dan kepercayaan Hindu Bali.
Menurut penjelasan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Sri Rsi Anandakusuma dalam Kamus Bahasa Bali, pelangkiran adalah tempat sajen yang diletakkan di dalam kamar. Dalam pelangkiran ini, umat Hindu Bali menyajikan persembahan kepada para dewa dan mengungkapkan rasa syukur serta pengabdian mereka kepada Ida Sang Hyang Widhi, sang pencipta menurut kepercayaan Hindu Bali. Pelangkiran menjadi simbol kehadiran spiritual yang memperkuat ikatan antara umat Hindu dan dunia roh. Dengan demikian, pelangkiran bukan hanya menjadi tempat untuk berdoa, tetapi juga menjadi pusat dari kehidupan rohani umat Hindu Bali.
Sejarah dan Asal-usul Pelangkiran
Asal usul kata "Pelangkiran" diduga berasal dari kata "Langkir," yang memiliki makna serupa dengan gunung. Misalnya, di masa lalu, Gunung Agung di Bali disebut Gunung Tolangkir atau Tohlangkir. Gunung dalam konteks ini menjadi simbol dari "hulu" dalam konsep hulu-teben, yang menggambarkan hubungan yang tak terpisahkan antara asal-usul dan tujuan, atas dan bawah, serta hal-hal yang saling melengkapi dalam kehidupan.
Konsep hulu-teben ini menunjukkan bahwa keberadaan pelangkiran tidak hanya sebagai tempat untuk menyajikan persembahan kepada para dewa, tetapi juga sebagai pengingat akan keharmonisan alam semesta dan hubungan yang erat antara manusia dengan sang pencipta. Pelangkiran menjadi simbol dari kesadaran akan keterhubungan antara makhluk hidup dan alam semesta, serta sebagai wadah untuk menyatukan spiritualitas dengan praktik kehidupan sehari-hari.
Dalam lontar "Aji Maya Sandhi", dijelaskan bahwa saat manusia sedang tidur, Kanda Pat keluar dari tubuh manusia dan berkeliaran di sekitarnya, terkadang duduk di dada, perut, tangan, dan sebagainya, yang dapat mengganggu tidur manusia. Oleh karena itu, penting untuk membuat pelangkiran sebagai tempat bagi Kanda Pat agar mereka dapat melaksanakan tugas mereka sebagai "penunggu urip". Dengan demikian, manusia dapat tidur dengan tenang dan nyenyak karena sudah ada yang menjaga dari segala bentuk gangguan roh jahat. Di dalam pelangkiran, tegteg daksina diletakkan sebagai linggih untuk mereka berempat, dan ritual ini dilakukan setiap purnama.
Letak dan Fungsi Pelangkiran
Pelangkiran, dengan keberadaannya yang mudah dijumpai di berbagai tempat seperti kamar tidur, ruang kerja, tempat suci, warung, gerobak dagang, pasar, bahkan di dalam mobil, memainkan peran sentral dalam kehidupan spiritual dan sehari-hari umat Hindu Bali. Berikut adalah fungsi pelangkiran berdasarkan tempat penempatannya:
- Di Dapur: Pelangkiran di dapur berfungsi untuk menyembah Sang Hyang Brahma, yang melambangkan penciptaan dan keberlanjutan alam semesta.
- Di Sumur: Pelangkiran di sumur, kran air, atau sumber mata air lainnya dipergunakan untuk menyembah Sang Hyang Wisnu, penguasa alam dan pelindung.
- Di Pasar: Pelangkiran di pasar berfungsi untuk menyembah Bhatari Dewa Ayu Melanting, yang dianggap sebagai pelindung para pedagang dan pembeli.
- Di Toko: Pelangkiran di toko berfungsi untuk menyembah Ida Bhatari Rambut Sedana, yang memberikan kemakmuran kepada setiap umat manusia.
- Di Kantor/Sekolah: Pelangkiran di kantor atau sekolah dipergunakan untuk menyembah Bhagawan Panyarikan atau Sang Hyang Aji Saraswati, yang melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.
- Di Kamar: Pelangkiran di kamar tidur berfungsi sebagai penunggu urip, yang melindungi dan memberikan keberkahan dalam kehidupan sehari-hari.
- Di Tempat Tidur Bayi: Pelangkiran di tempat tidur bayi yang belum berusia 3 bulan digunakan untuk menyembah Sang Hyang Kumara sebagai penjaga para bayi.
Penempatan pelangkiran harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan disakralisasi melalui proses penyucian (prayascita). Pelangkiran sebaiknya ditempatkan pada utama mandala, seperti sisi kaja (arah gunung/bukit terdekat) atau sisi kangin (matahari terbit), atau di dalam sebuah ruangan jika memungkinkan. Ketinggian bagian depan pelangkiran harus ditempatkan minimal di atas kepala (siwadwara) maurip aguli (tambah satu ruas jari) agar penempatannya sesuai dengan aturan adat dan penuh dengan budi luhur.
Bentuk Pelangkiran
Dikutip dari situs resmi PHDI, bentuk pelangkiran menyerupai bagian atas dari pelinggih padma, yang secara arkeologi diyakini berkembang dari bentuk pemujaan tahta batu pada zaman pra sejarah. Menurut Sutaba (1995), tahta batu awalnya bersusun dengan sandaran tangan kiri-kanan dan punggung berkembang menjadi bentuk jempana, gayot/joli, wadah (bake), dan akhirnya menjadi bentuk padmasana.
Makna dan bentuk pelangkiran ini mengarahkan pemahaman bahwa pelangkiran juga merupakan simbol gunung. Puncak-puncak bukit dan gunung dipercaya sebagai stana roh suci leluhur dan para dewa, menjadi manifestasi Tuhan sejak zaman pra sejarah nenek moyang Nusantara, dan semakin dipermulia oleh ajaran Hindu dari India. Pelangkiran menjadi salah satu stilisasi dari puncak gunung yang dikultuskan menjadi tempat pemujaan, bersanding dengan bentuk-bentuk pelinggih yang lebih permanen dalam arsitektur pemujaan Hindu.
Ilustrasi Gambar Pelangkiran |
Hal-hal Yang Wajib Diperhatikan
Penempatan pelangkiran di dalam rumah harus diperhatikan dengan baik sesuai dengan adat dan kepercayaan Hindu Bali. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Penempatan yang Tepat
Setiap kamar tidur perlu memiliki pelangkiran untuk linggih 'kanda-pat'. Untuk stana Sanghyang Kumara bagi bayi yang belum berusia 3 bulan, pelangkiran dapat dibuat dari anyaman bambu. Di dapur, diperlukan pelangkiran untuk linggih Bhatara Brahma dan Bhatara Wisnu, yang ditempatkan 'pulu' yang berisi beras segenggam. Pelangkiran ini juga perlu diisi dengan 'pejati', yakni banten tegteg, daksina, peras, dan ajuman.
2. Perawatan Saat Purnama dan Tilem
Setiap purnama, pejati di pelangkiran harus diganti dengan yang baru. Setiap hari, 'ngejot' atau memberi maturan di pelangkiran dilakukan dengan canang sari berisi masakan hari itu, cukup dengan bahasa biasa tanpa perlu menggunakan mantram. Saat tilem, pejati (tegteg, daksina, peras, ajuman) juga harus diperbarui, sementara di bawah pelangkiran diisi dengan segehan nasi manca warna.
3. Meletakkan Patung dengan Bijak
Jika ingin melinggihkan patung Dewa Siwa di pelangkiran kamar, perlu diingat bahwa Dewa Siwa adalah niyasa Tuhan (Sanghyang Widhi) dan sebaiknya ditempatkan di lingkungan yang lebih sakral atau suci, bukan di pelangkiran kamar tidur yang mungkin digunakan untuk hal-hal khusus.
4. Bagi yang Merantau
Jika merantau dan ingin tetap memuja Ida Sang Hyang Widhi, pelangkiran sebaiknya ditempatkan di ruangan khusus yang tidak digunakan untuk tidur. Ingatlah bahwa di kamar tidur, stana Kanda Pat yang sesuai perlu ditempatkan.
Pelangkiran biasanya ditempatkan secara permanen di ruang-ruang khusus, lengkap dengan berbagai kelengkapan wastra, hiasan gantungan, dan lamak kain atau pis bolong. Dengan kehalusan dalam pembuatannya, pelangkiran menjadi elemen penting dalam upacara pemujaan dan menghiasi tempat-tempat suci dengan megahnya, memperkuat spiritualitas dan keharmonisan dalam kehidupan umat Hindu Bali.
Penutup
Dalam kehidupan umat Hindu Bali, pelangkiran memiliki peran yang sangat penting sebagai sarana pemujaan dan penyembahan kepada para dewa. Dengan berbagai fungsi dan penempatan yang disesuaikan dengan adat dan kepercayaan, pelangkiran menjadi simbol kehadiran spiritual yang menghiasi setiap ruang dan aktivitas sehari-hari.
Dari sejarahnya yang kaya akan makna hingga pembuatannya yang teliti dan disertai dengan berbagai upacara penyucian, pelangkiran tidak hanya sekadar objek fisik, tetapi juga mewakili kearifan lokal dan filosofi yang mendalam dalam kehidupan umat Hindu Bali. Dengan sentuhan kehalusan dan keindahannya, pelangkiran menghiasi tempat-tempat suci dengan megahnya, memperkuat spiritualitas dan keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari.
Posting Komentar