UY0EvzZgeEEo4KiQ1NIivy9VYY1PQHFF9n6p7Enr
Bookmark

Tumpek Wayang: Makna Paruwatan Wayang Sapuh Leger Bagi Kelahiran Wuku Wayang

Tumpek Wayang adalah salah satu dari beberapa hari suci yang sangat dihormati di Bali, setelah Kajeng Kliwon. Pentingnya hari ini ditegaskan oleh ajaran dalam lontar Kala Tattwa, yang mengatakan bahwa jika seorang anak lahir pada wuku Wayang, khususnya pada hari Sabtu Wuku Wayang, maka mereka dianggap sebagai santapan bagi bhuta kala.

Dalam kalender Bali, Tumpek Wayang jatuh pada Saniscara Kliwon, Wuku Wayang, yang terjadi setiap 6 bulan atau 210 hari sekali. Hari ini mencakup pertemuan tiga unsur wewaraan, yaitu Sabtu sebagai Sapta Wara, Kajeng sebagai Tri Wara, dan Kliwon sebagai Panca Wara. Urutan ini menandai akhir dari siklus Wuku Wayang, menjadikan Tumpek Wayang sebagai masa peralihan yang Keramat.

Bagi umat Hindu di Bali, Tumpek Wayang dianggap sebagai hari yang "tenget" atau keramat. Tradisi jaman dulu di Bali melarang anak-anak bermain di luar rumah pada pukul 12 siang dan 6 sore, karena kedua waktu tersebut dianggap sebagai fase peralihan yang keramat, menurut kepercayaan spiritual.

Pengertian Tumpek Wayang

Tumpek Wayang merupakan salah satu dari enam tumpek yang dirayakan oleh umat Hindu di Bali. Upacara pemujaan pada saat Tumpek Wayang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara, yang memiliki fungsi untuk menerangi kegelapan, memberikan pencerahan dalam kehidupan, serta membangkitkan daya seni dan keindahan. Selain itu, hari suci ini juga dianggap keramat dan menjadi kesempatan untuk melakukan peruwatan atau penyucian bagi mereka yang lahir pada wuku Wayang.

Ritual Tumpek Wayang melibatkan berbagai aspek keagamaan dan budaya yang mendalam, mulai dari pemujaan hingga pertunjukan wayang kulit, yang memiliki peran penting dalam tradisi dan spiritualitas masyarakat Bali. Setiap elemen dalam perayaan ini memiliki makna dan simbolisme tersendiri yang menyatukan umat Hindu dalam penghormatan kepada para dewa dan pelestarian nilai-nilai luhur.

Tradisi Wayang Sapuh Leher Dalam Tumpek Wayang

Pementasan Wayang Sapuh Leger di Hari Raya Tumpek Wayang
Pada perayaan Tumpek Wayang, berbagai ritual dilakukan untuk memohon perlindungan dan restu dari Dewa Iswara. Salah satu bagian penting dari upacara ini adalah pementasan wayang sapuh leger. Kata "sapuh" memiliki arti peruwatan, sedangkan "leger" berarti mala atau kotoran yang ada pada diri manusia itu sendiri. Jadi, "sapuh leger" berarti pembersihan atau peruwatan kotoran atau mala secara niskala yang dibawa sejak lahir oleh orang yang lahir pada wuku wayang tersebut. Wuku wayang itu sendiri terdiri dari 7 hari dalam seminggu penuh, dimulai dari hari Minggu hingga hari Sabtu, dengan hari Sabtunya dirayakan sebagai hari Tumpek Wayang.

Pertunjukan wayang sapuh leger bukan sekadar hiburan, tetapi juga sarana penyucian dan pemberian berkah. Dalang, sebagai pengendali wayang, memegang peran sentral dalam menyampaikan pesan-pesan suci melalui cerita-cerita epik seperti Ramayana dan Mahabharata. Mereka yang lahir pada wuku Wayang dianggap memiliki hubungan khusus dengan kekuatan spiritual tertentu sehingga diharuskan untuk melakukan upacara penyucian pada hari Tumpek Wayang. Peruwatan ini diyakini dapat membersihkan seseorang dari pengaruh negatif dan memberikan perlindungan serta kesejahteraan dalam kehidupannya.

Mitologi Dewa Rare Kumara dan Dewa Kala

Mitologi Dwa Kala dan Dewa Rare Kumara dalam Tumpek Wayang
Dalam Cerita Wayang Sapu Leger, diberitahukan bahwa Dewa Kala akan memakan segala sesuatu yang lahir pada wuku wayang (menurut kalender Bali) atau yang tengah hari tepat pada wuku wayang. Atas petunjuk ayahandanya Dewa Siwa, Dewa Kala mengetahui bahwa Dewa Rare Kumara, putra bungsu dari Dewa Siwa, lahir pada wuku wayang.

Pada suatu hari yang bertepatan dengan wuku wayang, Dewa Rare Kumara dikejar oleh Dewa Kala yang hendak memakannya. Dewa Rare Kumara berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan dirinya dari tangkapan Dewa Kala. Ketika tengah hari tiba, dalam keadaan terengah-engah dan kepayahan, Dewa Rare Kumara hampir tertangkap oleh Dewa Kala jika tidak dihalangi oleh Dewa Siwa. Karena dihalangi oleh Dewa Siwa, Dewa Kala hendak memakan ayahandanya sendiri, sebab Dewa Siwa berada di tengah hari tepat dalam wuku wayang.

Dewa Siwa rela dimakan oleh Dewa Kala dengan syarat bahwa Dewa Kala dapat menerka sebuah sloka yang diucapkan Dewa Siwa. Sloka tersebut berbunyi: "Dewa Siwa penjaga mata tiga (Tri Netra), di antara keningku ada satu mata lagi, mata gaib yang dapat melihat alam, ditutup dengan cudamani." Akhirnya, Dewa Kala tidak dapat menerka dengan sempurna sloka tersebut, dan tambahan pula matahari sudah condong ke barat, sehingga Dewa Kala tidak berhak memakan Dewa Siwa, ayahandanya.

Karena itu, Dewa Kala melanjutkan pengejarannya kepada Dewa Rare Kumara yang telah jauh lari masuk ke halaman rumah-rumah orang. Pada malam hari, Dewa Rare Kumara sampai di sebuah pertunjukan Wayang dan meminta perlindungan kepada Sang Dalang yang berada di sana. Sang Dalang dengan bijaksana menyuruh Kumara untuk bersembunyi di sela-sela gamelan gender. Singkat cerita, Dewa Kala datang dan terus mengejar Kumara. Karena rasa laparnya tak tertahankan, Kala memakan semua sesajen untuk pergelaran Wayang itu.

Ki Mangku Dalang kemudian menasihati Dewa Kala agar tidak berniat untuk memakan Dewa Rare Kumara, karena Dewa Kala telah memakan sesajen wayang tersebut sebagai tebusannya. Dewa Kala akhirnya tidak lagi berdaya melanjutkan pengejarannya, sehingga Dewa Rare Kumara akhirnya selamat.

Dengan demikian, dikisahkan bahwa Dewa Rare Kumara selamat dan cerita ini mengakar kuat dalam mitologi Tumpek Wayang. Anak yang lahir pada hari yang bertepatan dengan wuku wayang dianggap sebagai anak sukerta dan berpotensi menjadi santapan Bhatara Kala. Oleh karena itu, anak tersebut harus dilukat (disucikan) dengan tirta Wayang Sapuleger, sebuah upacara penyucian khusus yang dilakukan untuk melindungi mereka dari pengaruh buruk dan memberikan keselamatan serta kesejahteraan dalam kehidupannya.

Banten dan Sarana Tumpek Wayang

Banten dan Sarana Tumpek Wayang
Saat hari suci Tumpek Wayang, umat Hindu melakukan ritual keagamaan dengan sarana yang disebut Banten. Ada beberapa jenis Banten yang digunakan dalam upacara ini, seperti Banten Pejati, Biakaon, Tebasan, Peras, Pengambean, Dapetan, dan lainnya. Setiap ritual yang dilaksanakan selalu ditutup dengan Segehan, khususnya untuk Kala Tumpek Wayang, menggunakan caru pandan wong (pandan berduri) dan segehan manca warna (lima warna).

Sehari menjelang Tumpek Wayang, yaitu pada hari Jumat atau Sukra Wuku Wayang, umat Hindu di Bali melaksanakan ritual Meseselat. Meseselat atau memasang seselat menggunakan sarana pandan berduri atau tumbuhan lainnya yang berduri, dengan makna agar terlindungi dari segala kekuatan jahat. Biasanya, seselat ini diletakkan di Sanggah dan setiap pelinggih yang ada di rumah, seperti Penunggun Karang, sumur, pelangkiran, dan lain-lain. Setelah banten seselat dibuat pada hari Jumat Wuku Wayang, kemudian seselat tersebut ditaruh di depan setiap palinggih di merajan dan di sumur.

Pada pagi hari Sabtu Wuku Wayang, yang dikenal dengan nama Tumpek Wayang, semua seselat yang telah diletakkan pada hari Jumat dikumpulkan dan diletakkan di lebuh rumah. Ritual ini menyesuaikan dengan tradisi dari masing-masing umat dan wilayah.

Penggunaan berbagai jenis Banten ini bertujuan untuk memohon keselamatan, kebahagiaan, dan keharmonisan dalam kehidupan umat Hindu. Setiap jenis Banten memiliki makna dan simbolisme tersendiri yang berkaitan dengan permohonan tertentu, misalnya Banten Pejati sebagai simbol pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa, dan Banten Biakaon yang digunakan untuk permohonan kesejahteraan.

Penutup

Tumpek Wayang adalah cerminan kekayaan budaya dan spiritual yang mendalam dalam masyarakat Hindu Bali. Melalui upacara ini, umat Hindu tidak hanya menghormati Dewa Iswara sebagai pemberi pencerahan dan keindahan, tetapi juga menjaga warisan seni dan tradisi yang telah ada selama berabad-abad. Mitologi dan ritual yang menyertai Tumpek Wayang, seperti cerita Dewa Rare Kumara dan penggunaan banten, memperkuat nilai-nilai spiritual dan moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Setiap perayaan Tumpek Wayang membawa pesan penting tentang perlindungan, penyucian, dan keselamatan, baik secara fisik maupun spiritual. Melalui pemujaan dan pertunjukan wayang, umat Hindu Bali memperkokoh ikatan mereka dengan para dewa, serta menjaga harmoni dan kesejahteraan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian, Tumpek Wayang tidak hanya menjadi sebuah tradisi ritualistik, tetapi juga sarana untuk menyatukan komunitas, mengingatkan mereka akan pentingnya menjaga hubungan yang harmonis dengan alam semesta dan sesama.

Dengan terus melestarikan tradisi Tumpek Wayang, masyarakat Hindu Bali menunjukkan komitmen mereka dalam mempertahankan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur mereka, memastikan bahwa warisan budaya dan spiritual ini tetap hidup dan relevan bagi generasi mendatang.
Posting Komentar

Posting Komentar